![]() |
Warga melihat kondisi rumah yang rubuh akibat
|
berbagai bencana alam di sejumlah daerah di Indonesia terutama erupsi
Gunung Sinabung, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.
Bencana (Planas PRB) Ivan Valentina Ageng mengatakan, penanganan bencana di Indonesia belum
proporsional. Sistem penanggulangan bencana tidak dijalankan secara konsisten.
kejadian bencana yang terjadi di Indonesia pada saat ini. Masing-masing
memiliki karakteristik risiko yang berbeda, baik dilihat dari konteks ancaman,
kerentanan, maupun kapasitasnya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
belum secara jeli dalam membagi proporsi tenaga dan sumberdayanya.
bencana di Indonesia belum proporsional. BNPB cenderung reaktif merespon banjir
Jakarta, namun sangat lambat dalam menanggulangi dampak erupsi Sinabung. “Kini,
kita malah kebobolan dengan terjadinya banjir bandang di Menado,”ujarnya.
Untuk erupsi Gunung Sinabung
Sumatera Utara misalnya, hingga meletusnya Gunung Sinabung pada November 2012,
Pemerintah Kabupaten Karo masih belum memiliki Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD). Pemerintah sebenarnya memiliki kesempatan untuk menata sistem
dan kelembagaan penanggulangan bencana. Sayangnya, kesempatan itu disia-siakan.
Akibatnya, koordinasi penanggulangan bencana menjadi tidak terencana.
Seperti diketahui, setelah tidur
panjang selama 400 tahun, Gunung Sinabung pertama kali meletus pada Agustus
2010 dan terus berlangsung hingga September 2010. Gunung Sinabung sempat
terdiam selama kurang lebih tiga tahun, hingga kemudian meletus kembali pada
November 2013 dan terus berlangsung hingga saat ini. Namun, meski ancaman cukup
riil, namun tidak ada inisiatif dari pemerintah setempat untuk segera mengisi gap kapasitasnya melalui pendirian BPBD.
Koordinasi penanggulangan bencana
dilakukan melalui Satkorlak yang sifatnya ad hoc dan hanya focus pada kegiatan
tanggap darurat. Kegiatan-kegiatan elementer dalam hal penguatan kapasitas
kesiapsiagaan, khususnya bagi masyarakat yang berada di garis depan ancaman
erupsi, tidak terkelola dengan baik. Pada saat jumlah penyintas (sebutan bagi
pengungsi) melonjak hingga lebih dari 26 ribu jiwa, penanganan dampak menjadi
semakin amburadul.
Pemerintah Pusat dan pemerintah
provinsi Sumatera Utara sepertinya tidak melihat ketiadaan BPBD di Kabupaten
Karo sebagai permasalahan. “Padahal, keberadaan BPBD Kabupaten akan sangat
bermanfaat untuk mengoordinasikan upaya-upaya penanggulangan bencana secara
modern dan komprehensif,” tegas Ivan.
Kondisi yang berbeda justru
terjadi di Jakarta. Banjir yang merendam 33 kelurahan pada 13-14 Januari 2014
justru disikapi secara reaktif. Jika dibandingkan dengan kejadian banjir
Jakarta awal 2013, yang merendam 124 kelurahan, banjir di Jakarta sebenarnya
masih bisa ditanggulangi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Untuk diketahui,
banjir 2013 merendam 17% wilayah DKI, sementara banjir 2014 baru merendam 7%
dari wilayah DKI.
Selain itu, Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta sebenarnya telah memiliki konsep rencana kontijensi banjir Jakarta
yang disusun secara partisipatif dengan melibatkan berbagai stakeholder
penanggulangan bencana yang ada di Jakarta. Rencana kontijensi adalah
salah-satu ciri pendekatan modern dan komprehensif dalam penanggulangan
bencana.
Artinya, jika dilihat dari segi
ancaman, banjir Jakarta 2014 masih lebih kecil dari skala ancaman
banjir 2013,
kemudian dari segi kapasitas, keberadaan dokumen rencana kontijensi menjadi
indikator kesiapan kapasitas Pemprov dan masyarakat DKI dalam menghadapi
ancaman bencana banjir.
“Kehadiran dalam tanda petik,
BNPB dalam urusan banjir Jakarta 2014 justru menutup kesempatan pemerintah DKI
untuk melakukan exercise atas kapasitas
yang tengah dibangunnya,” jelas Ivan. Padahal sudah jelas dalam Undang-Undang
No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pemerintah daerah adalah
ujung tombak penanggulangan bencana.
Kini, publik Indonesia dikejutkan
oleh banjir bandang Menado (15/1). Tidak kurang 40 ribu terpaksa mengungsi dan
setidaknya 15 orang tewas akibat bencana tersebut. Ancaman yang menyebabkan
banjir bandang di Menado sebenarnya sudah bisa diprediksi sebagai akibat dari
cuaca ekstrem yang melanda kawasan selatan Filipina.
Publik melalui media massa
tergiring oleh pemberitaan banjir Jakarta dan sepertinya tidak ada input apapun
dari BNPB tentang kemungkinan bencana di Menado dan sekitarnya. “Seharusnya,
BNPB dengan segala sumberdaya dan otoritas yang dimilikinya, harus berupaya
mengarahkan perhatian publik terhadap kemungkinan ancaman cuaca ekstrem agar
lebih siap-siaga,” jelas Ivan.
Manado sebagai kota paling
strategis di Provinsi Sulawesi Utara, baik dari segi demografi, politik dan
pemerintahan, serta perekonomian, cenderung “dibiarkan” begitu saja dilumat
oleh ancaman bencana yang sebenarnya bisa diprediksi. “Tidak ada peringatan
dini yang tersosialisasi secara luas apalagi skenario kesiapsiagaan,” tambahnya.
“Bayangkan, saat ancaman cuaca
ekstrem semakin mendekati Manado, BNPB justru tengah sibuk menulis kultwit guna
meladeni media massa yang penasaran dengan teknologi modifikasi cuaca untuk
menanggulangi banjir yang sebenarnya baru merendam 7% wilayah DKI,”jelasnya.
Meski pengungsi letusan Gunung Sinabung, sampai saat ini sudah sekitar 26.088 warga yang mengungsi akibat bencana alam tersebut,
namun hingga kini Pemerintah Pusat belum menetapkan erupsi Sinabung
sebagai bencana nasional, sehingga penanganannya masih dilimpahkan ke
pemerintah daerah.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru merencanakan mengunjungi korban
Sinabung minggu depan. “Minggu depan, Insya Allah saya akan berkunjung
kembali ke Kabanjahe,
untuk memastikan penanganan Sinabung dan pengungsi berjalan baik.
*SBY*,”tulis SBY di akun situs jejaring social facebook (13/1). (Rini/Marwan Azis).